PANDUGA.ID, SEMARANG – Para buruh di Jawa Tengah mengancam akan melakukan mogok kerja massal apabila pemerintah tidak segera melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pengaturan pengupahan. Organisasi buruh telah berjuang selama empat tahun menentang Undang-Undang Cipta Kerja, yang dinilai merugikan mereka. Upaya ini membuahkan hasil setelah MK mengeluarkan Putusan No.168/PUU-XXI/2023, yang mengubah 21 aturan dalam UU Nomor 6/2023 tentang Cipta Kerja.
Koordinator Umum Federasi Serikat Pekerja Indonesia Perjuangan (FSPIP) Jawa Tengah, Karmanto, menyatakan bahwa jika pemerintah mengabaikan putusan tersebut, pihaknya akan melaksanakan aksi mogok kerja total. “Bila putusan MK hanya sekadar angin lalu, kami siap turun all-out, tak hanya aksi di jalan tapi juga mogok kerja,” ujar Karmanto, Kamis (7/11/2024).
Buruh telah melakukan aksi dan audiensi dengan DPRD Kota Semarang dan Wali Kota Semarang pada akhir Oktober, dan aksi serupa akan digelar di daerah lain seperti Demak dan Jepara. Mereka mendesak agar pemerintah pusat segera menjalankan putusan MK, terutama karena kepala daerah sedang menunggu instruksi dari pemerintah pusat terkait pengaturan upah minimum kabupaten/kota (UMK) yang seharusnya diselesaikan pada November ini.
Karmanto menjelaskan bahwa penentuan UMK tidak lagi merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) 51 Tahun 2023 yang dianggap tidak sesuai. “PP tersebut tak lagi relevan untuk penetapan UMK November ini,” ujarnya. Buruh menuntut agar struktur skala upah dan upah sektoral menjadi acuan dalam penetapan upah. Struktur skala upah dianggap penting untuk melindungi buruh dengan masa kerja lebih dari satu tahun, sementara upah sektoral bergantung pada jenis usaha, seperti sektor garmen dan logam.
Isu lainnya yang disorot dalam putusan MK adalah pembatasan praktik Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan outsourcing. Karmanto menekankan bahwa sistem outsourcing yang masif membuat buruh kehilangan masa depan. “Buruh tidak boleh semuanya di-outsourcing atau dikontrak karena itu menghilangkan masa depan buruh,” tegasnya.
Divisi Buruh dari LBH Semarang, M. Safali, menilai bahwa putusan MK memberi peluang bagi buruh Jawa Tengah untuk mendapatkan upah yang lebih layak. “Kami mendesak agar Gubernur Jateng tidak lagi menggunakan PP 51 Tahun 2023 dalam menentukan upah buruh,” ungkap Safali.
Selain itu, LBH Semarang kini menangani puluhan kasus pelanggaran hak buruh yang masih terjadi di tahun 2024. Praktik-praktik yang merugikan buruh antara lain penekanan terhadap serikat buruh, intimidasi terhadap anggota serikat, serta pelanggaran hak upah lembur yang tak dibayarkan.
Dengan meningkatnya tensi ini, para buruh berharap pemerintah memberikan respons serius dan menjalankan putusan MK untuk melindungi hak-hak mereka. (CC02)