PANDUGA.ID, JAKARTA – Putusan Mahkamah Agung (MA) yang menetapkan batas minimal umur calon peserta Pilkada dihitung saat pelantikan sebagai kepala daerah, menuai kritik keras dari publik yang menilai keputusan ini sebagai upaya mengakali hukum demi kepentingan keluarga penguasa.
Kritik ini muncul karena dianggap meniru modus operandi yang sama, yang dilakukan jelang pendaftaran calon presiden dan wakil presiden pada tahun lalu.
Pada tahun 2023, Mahkamah Konstitusi (MK) mengubah aturan batas usia capres-cawapres minimal 40 tahun dengan menambahkan kalimat “atau sudah berpengalaman sebagai kepala daerah yang dipilih melalui pemilu.” Dengan perubahan ini, Gibran Rakabuming Raka, yang belum genap 40 tahun, dapat maju dalam Pilpres 2024 karena telah menjabat sebagai Wali Kota Solo.
“Ini adalah contoh nyata bagaimana hukum dimanipulasi untuk menguntungkan pihak tertentu,” ujar Dr. Herlambang, seorang ahli hukum tata negara, Sabtu (31/8/2024).
Keputusan MK tersebut, meskipun bersifat final dan mengikat, terbukti melanggar etik hakim MK, sehingga Ketua MK Anwar Usman, yang juga paman Gibran, dicopot dari jabatannya.
Kasus ini memperkuat pandangan bahwa hukum dapat diubah demi kepentingan pribadi atau keluarga penguasa.
“Publik berhak mempertanyakan integritas lembaga peradilan jika kasus serupa terus berulang,” tegas aktivis anti-korupsi, Luhut Tambunan.
Modus serupa dinilai diulang kembali melalui putusan MA yang memungkinkan Kaesang Pangarep, putra bungsu Presiden Jokowi, untuk maju dalam Pilkada 2024.
Dengan putusan MA, Kaesang yang seharusnya tidak memenuhi syarat umur minimal, menjadi memenuhi syarat karena penghitungan usia didasarkan pada saat pelantikan.
“Ini adalah tindakan yang merusak kepercayaan publik terhadap sistem hukum kita,” kata Prof. Siti Rahmawati, pengamat politik.
Reaksi publik semakin keras terhadap tindakan ini, dengan banyak yang menyerukan agar hukum ditegakkan secara adil tanpa adanya intervensi atau manipulasi.
“Keputusan yang diambil demi kepentingan keluarga penguasa akan berdampak negatif terhadap demokrasi kita,” tutup Luhut Tambunan.(CC-01)