PANDUGA.ID, JAKARTA – Guru Besar Filsafat Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyakara Franz Magnis Suseno SJ, telah dipanggil sebagai saksi ahli dalam sidang lanjutan perselisihan hasil Pilpres 2024 di hadapan Mahkamah Konstitusi (MK) Selasa, 24 Maret 2024.
Romo Magnis menjadi saksi dalam agenda mendengarkan keterangan saksi dan ahli yang dihadirkan tim kuasa hukum pasangan Ganjar-Mahfud.
Romo Magnis adalah seorang filsuf, ulama, dan tokoh budaya terkenal Indonesia berusia 87 tahun.
Penampilannya yang sederhana dan pemikiran kritisnya menginspirasi banyak orang selama lebih dari 50 tahun berkarya di Indonesia.
Lahir di Jerman pada tahun 1936, Pastor Magnis datang ke Indonesia sebagai misionaris Jesuit pada tahun 1961.
Ia kemudian menjadi warga negara Indonesia pada tahun 1977.
Dedikasi dan kecintaannya terhadap Indonesia tercermin dalam banyak karya dan pemikirannya yang mencerminkan sosio-kulturalnya, situasi bangsa, dan realitas.
Di masa tuanya, Romo Magnis masih aktif berkarya dan mengutarakan pemikirannya.
Saat Menjadi Saksi Ahli dalam Sidang Sengketa Pilpres, Guru Besar STF Driyakara Singgung Perbandingan Antara Presiden dan Pimpinan Organisasi Kriminal Mafia dalam Sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Presiden (PHPU) di Mahkamah Konstitusi .
Diungkap pula lima pelanggaran etik berat yang dilakukan kubu Prabowo-Gibran.
Romo Magnis mengatakan anggapan apa pun bahwa presiden menggunakan kekuasaannya demi keuntungan dirinya atau keluarganya adalah tindakan yang merugikan.
“Menggunakan kekuasaan untuk kepentingan pihak tertentu menjadikan Presiden seperti ketua organisasi mafia,” kata Pastor Magnis di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Selasa, 2 April 2024.
“Kesan dia menggunakan kekuasaan untuk kepentingan dirinya sendiri atau kepentingan keluarganya sangatlah merugikan: jabatan presiden adalah milik semua orang. Itu bukan milik orang-orang yang memilihnya,” katanya.
Kalau dia dari partai, maka begitu dia jadi presiden, tindakannya harus ditujukan untuk keselamatan semua orang,” tambahnya dan melanjutkan.
Pertama soal pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), Franz mengatakan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menilai pendaftaran Gibran menjadi calon wakil presiden merupakan pelanggaran etik yang serius.
“Mencalonkan seseorang sebagai calon wakil presiden – yang hanya dapat dilakukan secara sah jika terjadi pelanggaran etika berat – juga merupakan pelanggaran etika berat,” kata Franz.
Kedua, sikap pilih kasih dan penyalahgunaan kekuasaan oleh Jokowi.
Menurut Franz, Jokowi bisa memberikan informasi mengenai harapan kemenangan salah satu kandidat.
“Tetapi segera setelah dia menggunakan kekuasaannya untuk mengeluarkan instruksi kepada ASN, polisi, tentara, dll untuk mendukung salah satu pasangan calon, serta menggunakan kas negara untuk membiayai perjalanan yang disponsori untuk mendukung pasangan calon, dia melanggar persyaratan etika, yang menurutnya dia adalah “tanpa membedakan presiden dari semua warga negara, termasuk semua politisi”.
Franz menjelaskan kepada keluarganya sendiri, dengan mengatakan bahwa hal itu menunjukkan seorang presiden tidak mampu mengabdikan dirinya untuk kebaikan rakyat.
Keempat, menekankan penyaluran dana bantuan sosial (bansos), dengan mengatakan bahwa dana hibah sosial adalah milik bangsa Indonesia dan penyaluran dana hibah sosial merupakan tanggung jawab kementerian terkait sesuai dengan peraturan pelaksanaan yang berlaku, sekaligus mengkritisi presiden yang menggunakan dana bantuan sosial (bansos) keuntungan untuk tujuan politik tertentu.
“Jadi itu pencurian ya, itu pelanggaran moral. Itu juga tandanya dia kehilangan visi moralnya,” kata Franz.
Terakhir, terjadi manipulasi dalam proses pemilu.
“Jika proses pemilu dimanipulasi, itu merupakan pelanggaran etika yang serius karena merusak hakikat demokrasi,” ujarnya.
Misalnya, kata Franz, jika waktu pemungutan suara diubah atau penghitungan suara tidak dilakukan dengan benar.
Dia mengatakan tindakan seperti itu memfasilitasi penipuan dan merupakan sabotase terhadap pemilu.
Oleh karena itu, ini merupakan pelanggaran etika yang serius, kata Franz Magnis.(CC-01)