PANDUGA.ID, JAKARTA – Usulan agar revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) memuat larangan peliputan persidangan oleh media menuai polemik. DPR RI berencana mengundang pemimpin redaksi (Pemred) media, Dewan Pers, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) untuk membahas aturan tersebut setelah libur Lebaran.
Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman menyatakan bahwa pertemuan ini bertujuan mencari solusi terbaik terkait aturan peliputan sidang dalam RKUHAP.
“Kami akan mengundang Dewan Pers, PWI, AJI, dan Forum Pemred pada tanggal 8 setelah Lebaran untuk membahas pengaturan yang paling baik terkait peliputan persidangan,” ujar Habiburokhman, Kamis (27/3/2025).
Alasan Larangan Peliputan Sidang
Usulan larangan peliputan sidang ini pertama kali disampaikan oleh Advokat Juniver Girsang dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Komisi III DPR RI. Ia menilai, siaran langsung persidangan dapat mempengaruhi keterangan saksi.
“Kenapa ini harus kita setujui? Karena kalau diliput langsung, saksi-saksi bisa mendengar, bisa saling mempengaruhi, bisa menyontek keterangan lain,” kata Juniver.
Usulan tersebut tertuang dalam Pasal 253 Ayat (3) RKUHAP, yang berbunyi:
“Setiap orang yang berada di ruang sidang pengadilan dilarang untuk mempublikasikan atau meliput langsung proses persidangan tanpa izin pengadilan.”
Menurutnya, siaran langsung hanya boleh dilakukan dengan izin hakim, dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap jalannya persidangan.
Selain itu, Habiburokhman menjelaskan bahwa pemeriksaan saksi dalam persidangan tidak boleh disiarkan langsung agar keterangan saksi tetap murni dan tidak saling terpengaruh.
“Kami paham teman-teman pers menjalankan tugas jurnalistik. Tapi dalam pemeriksaan saksi, mereka tidak boleh saling mendengar agar keterangannya tidak saling terpengaruh,” kata Habiburokhman.
Polemik: Hak Pers vs Kerahasiaan Sidang
Meski demikian, aturan ini memicu perdebatan karena dinilai bertentangan dengan prinsip keterbukaan persidangan dan hak publik untuk mendapatkan informasi.
DPR mengakui bahwa peliputan persidangan oleh media merupakan tugas jurnalistik yang dilindungi Undang-Undang Pers, terutama dalam kasus yang menjadi perhatian publik.
“Kami ingin mencari jalan tengah. Apakah hanya pemeriksaan saksi yang tidak bisa disiarkan langsung? Untuk perkara biasa, seharusnya tetap terbuka,” kata Habiburokhman.(CC-01)