PANDUGA.ID, JAKARTA – Kejaksaan Agung (Kejagung) dihadapkan pada tantangan besar dalam membuktikan kerugian negara sebesar Rp300 triliun dalam kasus dugaan korupsi izin usaha pertambangan (IUP) di PT Timah. Para ahli menilai angka tersebut masih perlu pembuktian yang lebih konkret.
Ahli hukum pidana, Prof. Romli Atmasasmita, menyebut bahwa pembuktian angka sebesar itu bukanlah hal yang mudah.
“Jadi, mereka harus menunjukkan hasil, meski angka itu tampaknya sulit terbukti,” ujar Prof. Romli dalam keterangannya, Jumat (3/1/2025).
Selain tuduhan korupsi, Kejagung juga menambahkan pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU) untuk menelusuri aset-aset terkait kasus ini. Hingga kini, lima korporasi telah ditetapkan sebagai tersangka.
“Aset halal atau tidak halal semuanya bisa disita. Tapi persoalannya adalah pembuktiannya,” tambahnya.
Prof. Romli juga mengingatkan Kejagung agar berhati-hati dalam menentukan hukuman untuk mencegah disparitas yang dapat menimbulkan ketidakadilan.
“Jangan sampai ada yang didenda triliunan, sementara yang lain hanya ratusan juta. Itu akan menimbulkan masalah keadilan,” tegasnya.
Perlu Data Valid dalam Perhitungan Kerugian Negara
Ahli manajemen hutan dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Sudarsono Soedomo, juga menyoroti pentingnya validitas data dalam perhitungan kerugian negara.
“Angka Rp300 triliun itu lebih menyerupai potensi kerugian, bukan kerugian riil. Namun, persepsi yang muncul di masyarakat seolah-olah itu uang nyata,” jelas Prof. Sudarsono.
Ia menyarankan agar Kejagung melibatkan lebih banyak ahli untuk memberikan pandangan yang lebih komprehensif terkait penghitungan kerugian.
“Harusnya Kejagung mendengarkan ahli lain. Kalau orang itu bersalah, hukumlah secara proporsional,” tambahnya.
Rincian Kerugian Negara Versi Kejagung
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Harli Siregar, menjelaskan bahwa kerugian negara dalam kasus ini mencapai Rp300.003.263.938.131,14. Namun, angka tersebut tidak sepenuhnya berasal dari korupsi, melainkan juga mencakup kerusakan lingkungan akibat tambang timah ilegal.
Berikut adalah rincian kerugian:
- Kerugian Keuangan Negara
- Kerja sama penyewaan alat pengolahan timah yang tidak sesuai ketentuan: Rp2,284 triliun.
- Pembayaran bijih timah dari tambang ilegal: Rp26,648 triliun.
- Kerugian Lingkungan
- Kerugian ekologi: Rp183,703 triliun.
- Kerugian ekonomi lingkungan: Rp74,479 triliun.
- Biaya pemulihan lingkungan: Rp11,887 triliun.
Kerugian lingkungan menyumbang bagian terbesar, yaitu mencapai Rp271,069 triliun, yang dihitung oleh ahli lingkungan hidup.
Langkah Kejagung Selanjutnya
Kejagung menegaskan komitmennya untuk menuntaskan kasus ini secara transparan. Langkah ini diharapkan dapat mengembalikan kepercayaan publik dan memberikan keadilan bagi semua pihak yang terlibat.
“Kami akan terus bekerja keras untuk membuktikan kerugian negara dan menindak tegas pelaku korupsi,” pungkas Harli.