PANDUGA.ID, SEMARANG – Kota Semarang kembali diguncang dua kasus kekerasan terhadap anak dalam sepekan terakhir. Kasus pertama melibatkan kekerasan verbal yang menimpa siswa TK dan SD di sebuah sekolah di Kecamatan Semarang Tengah, yang terungkap pada Rabu (4/9/2024). Sedangkan kasus kedua, melibatkan penganiayaan fisik yang dialami seorang siswa SD oleh pelajar SMP di Kecamatan Tembalang pada Jumat (6/9/2024).
Aktivis perlindungan anak, Bintang Alhuda, menyatakan keprihatinannya atas dua insiden tersebut. Namun, dia menekankan pentingnya riset lebih mendalam untuk memastikan apakah kedua kasus tersebut bisa dikategorikan sebagai perundungan. Menurutnya, banyak orang yang masih salah kaprah dalam membedakan bullying dengan bentuk kekerasan lainnya.
“Fenomena saat ini menunjukkan bahwa masyarakat sering kali tidak bisa membedakan antara bullying dengan kekerasan lainnya. Bullying adalah kejahatan luar biasa, jadi jangan sampai kita mengecilkan makna perundungan itu sendiri,” ujar Bintang, yang juga merupakan pendamping anak dari Yayasan Setara, lembaga yang berfokus pada pemenuhan hak dan perlindungan anak, pada Senin (9/9/2024).
Bintang menjelaskan bahwa tindakan perundungan dapat diidentifikasi melalui tiga indikator utama: dilakukan secara berulang, adanya ketimpangan kekuasaan, dan adanya niat untuk menyakiti korban. Jika ketiga indikator tersebut tidak terpenuhi, maka tindakan tersebut mungkin lebih tepat dikategorikan sebagai kekerasan fisik, verbal, atau penganiayaan.
“Bullying jauh lebih kejam karena melibatkan penindasan yang dilakukan secara berulang, di mana korban tak bisa melawan,” tambahnya.
Ia bahkan menyamakan keseriusan kasus bullying dengan kekerasan seksual, yang menurutnya tidak boleh diselesaikan melalui jalur damai atau kekeluargaan. “Kasus perundungan harus ditangani dengan serius, sama seperti kekerasan seksual,” tegas Bintang.
Bintang juga menekankan bahwa pencegahan perundungan bisa dilakukan dengan meningkatkan kepekaan lingkungan sekitar. “Teman-teman korban harus segera melaporkan kepada pihak yang berwenang ketika melihat tanda-tanda kekerasan atau perundungan,” ujarnya.
Dalam pekan yang sama, dua kasus kekerasan terhadap anak ini menambah panjang daftar insiden serupa di Kota Semarang. Berdasarkan data dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Semarang, tercatat ada 61 kasus kekerasan anak dari 1 Januari hingga 9 September 2024. Kasus-kasus ini tersebar di beberapa kecamatan, dengan jumlah tertinggi berada di Semarang Timur (14 kasus) dan Semarang Utara (13 kasus).
Untuk menekan angka kekerasan terhadap anak, Bintang menyarankan agar perhatian lebih diberikan kepada tiga aspek utama dalam perkembangan anak: lingkungan keluarga, masyarakat, dan sekolah. Menurutnya, ketiga faktor ini saling mempengaruhi tumbuh kembang anak, dan ketidakseimbangan dalam salah satu aspek dapat memicu perilaku agresif pada anak.
“Perilaku anak harus dilihat dari perspektif yang lebih luas, yaitu dari ketiga faktor tersebut. Semua aspek ini harus diciptakan sebaik mungkin demi mendukung perkembangan anak yang sehat,” jelas Bintang.
Dengan meningkatnya jumlah kasus kekerasan anak di Kota Semarang, penting bagi semua pihak untuk bekerja sama dalam menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi anak-anak. (CC02)