PANDUGA.ID, JAKARTA – Perbincangan di media sosial X (sebelumnya dikenal sebagai Twitter) Senin (19/8/2024) didominasi oleh reshuffle kabinet yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo.
Banyak netizen, termasuk para buzzer, mengangkat narasi bahwa langkah reshuffle ini sarat dengan kepentingan politik yang bersifat transaksional.
Mereka menilai bahwa reshuffle ini dilakukan untuk mengamankan posisi Jokowi, partai-partai pengusung, serta mengatasi kasus hukum tertentu.
Salah satu pengguna X, @BudiSantoso99, menuliskan, “Reshuffle kali ini bukan hanya soal kinerja, tapi soal kepentingan politik. Orang-orang dekat Jokowi dan Prabowo yang diangkat, jelas ini untuk mengamankan kekuasaan mereka.” Cuitan ini mencerminkan kekhawatiran banyak netizen bahwa reshuffle lebih ditujukan untuk memperkuat posisi politik Presiden dan sekutunya, daripada untuk meningkatkan kinerja pemerintahan.
Narasi lain yang beredar di X adalah bahwa reshuffle ini merupakan bentuk transisi kabinet dan upaya untuk menggusur pengaruh PDIP di dalam pemerintahan.
Pengguna akun @RinaWibowo34 menyebut, “Ini jelas transisi kekuasaan menuju periode berikutnya. PDIP perlahan-lahan digusur, yang tinggal cuma yang loyal atau tak punya pilihan.” Komentar ini mencerminkan pandangan bahwa partai yang selama ini menjadi pendukung utama Jokowi, yaitu PDIP, mulai kehilangan pengaruhnya di kabinet.
Selain itu, netizen juga mengaitkan reshuffle ini dengan dugaan adanya transaksi jabatan untuk mengamankan kepentingan hukum tertentu.
Akun @TeguhPrasetyo12 mengomentari, “Apa ini cara Jokowi untuk mengamankan kasus hukum tertentu? Kabinet ini penuh orang-orang yang bisa jadi perisai untuk menghadapi masalah hukum.” Komentar ini memperlihatkan kekhawatiran bahwa reshuffle dilakukan dengan tujuan untuk menutupi atau melindungi kepentingan tertentu dari potensi masalah hukum.
Secara keseluruhan, percakapan di X memperlihatkan ketidakpuasan sebagian netizen terhadap langkah reshuffle kabinet yang dilakukan Presiden Jokowi.
Narasi yang beredar mencerminkan kecurigaan bahwa langkah ini lebih banyak dilandasi oleh pertimbangan politik dan kekuasaan, daripada kebutuhan untuk memperbaiki kinerja pemerintahan.(CC-01)