PANDUGA.ID, JAKARTA – PP No. 25 Tahun 2024 yang baru ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo, yang memberi peluang ormas keagamaan untuk mengelola bisnis tambang batubara, mendapat kritik tajam dari berbagai kalangan.
Menurut Andrinof Achir Chaniago, pakar kebijakan publik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI), peraturan ini menunjukkan semakin kacauya perlakuan pemerintah terhadap Pasal 33 ayat 3 UUD 1945.
Pasal tersebut menetapkan bahwa kekayaan alam dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Andrinof, yang juga mantan Menteri Perencanaan Pembangunan/Kepala Bappenas, menilai kebijakan dalam PP ini mencerminkan pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang sarat dengan kepentingan politik dan ekonomi yang sempit.
“Kebijakan ini hanyalah perluasan dari praktik pemberian izin tambang yang serampangan. Orang yang mendapatkan IUP adalah mereka yang dekat dengan kekuasaan atau memiliki posisi tawar yang kuat,” kata Andrinof, Selasa (4/6/2024).
Senada dengan Andrinof, peneliti dari Alpha Research Database, Ferdy Hasiman, menyatakan bahwa pengelolaan tambang seharusnya diserahkan kepada pihak yang berkapasitas, dan tidak dicederai oleh politik akomodatif dan balas budi.
“Ketika ormas diberi IUP sebenarnya hanya bagi-bagi kue. Hal ini merusak prinsip tata kelola yang baik dalam pengelolaan SDA,” ujar Ferdy.
Ferdy menekankan pentingnya profesionalisme dalam pengelolaan tambang agar tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar.
“Pengelolaan tambang harus berada di tangan pihak yang memiliki kapasitas dan kompetensi,” tegasnya.
Kebijakan ini menuai kritik karena dinilai bertentangan dengan semangat Pasal 33 UUD 1945 yang menekankan bahwa SDA harus digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Kritik ini semakin tajam karena banyak pihak melihat pemberian IUP kepada ormas sebagai bentuk politik balas budi yang dapat merugikan kepentingan umum.
Publik kini menanti respons pemerintah terhadap kritik ini dan berharap ada langkah konkret untuk memastikan bahwa pengelolaan SDA benar-benar dilakukan untuk kesejahteraan rakyat, bukan untuk kepentingan segelintir pihak yang dekat dengan kekuasaan.
Keputusan ini juga membuka diskusi lebih luas mengenai transparansi dan akuntabilitas dalam pemberian izin tambang di Indonesia.(CC-01)