PANDUGA.ID, SEMARANG – Polisi di Kota Semarang disibukkan dengan pengungkapan dua kasus buang bayi dalam tiga minggu terakhir.
Kedua kasus ini mengguncang warga setempat dan menambah daftar panjang kejahatan terhadap anak di kota tersebut.
Kasus pertama terjadi pada Senin (6/5/2024), di mana bayi laki-laki ditemukan dalam kondisi sehat di dalam ember depan sebuah rumah di Jalan Tambra Dalam, Kelurahan Kuningan, Kecamatan Semarang Utara.
Bayi tersebut kini dirawat oleh Dinas Sosial, sementara sang ibu yang merupakan pelaku pembuangan telah berhasil dibekuk oleh pihak kepolisian.
Kasus kedua lebih tragis, ditemukan pada Jumat (24/5/2024) di tong sampah depan kantor Permodalan Nasional Madani (PNM) Jalan Berlian 1, RT 3 RW 5, Kelurahan Mangunharjo, Tembalang.
Bayi laki-laki tersebut ditemukan sudah dalam kondisi tewas dengan tali pusar yang masih menempel.
Hingga kini, polisi masih melakukan penyelidikan untuk mengungkap pelaku pembuangan bayi ini.
Kriminolog dari Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Semarang, Bambang Joyo Supeno, menjelaskan bahwa para pelaku pembuangan bayi sering kali terhimpit oleh beragam desakan, baik moral, ekonomi, maupun agama.
“Pelaku nekat melakukan pembuangan bayi untuk mengurangi beban moralitas, ekonomi, dan stigma agama akibat hubungan ilegal,” kata Bambang pada Sabtu (25/5/2024).
Menurut Bambang, aspek kemiskinan sering menjadi pemicu utama dalam kasus pembuangan bayi.
Namun, jika pelaku memiliki gangguan kejiwaan, hal ini dapat memicu tindakan yang lebih ekstrem seperti pembunuhan bayi.
“Dalam teori kriminologi, pembunuhan bayi dipicu aspek kejiwaan karena khawatir tidak bisa merawat atau membiayai kehidupannya,” tambahnya.
Bambang juga menekankan pentingnya langkah-langkah pencegahan dengan memperkuat regulasi dan penindakan kasus kekerasan seksual.
Ia mengusulkan pembentukan satuan tugas (Satgas) di tingkat pemerintah daerah, mirip dengan aturan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi yang diatur melalui Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021.
Psikolog RS Elisabeth Semarang, Probowatie Tjondronegoro, menyebut bahwa para pelaku buang bayi sering kali bertindak karena kondisi terdesak yang menutupi naluri mereka sebagai manusia.
“Pelaku overthinking tentang stigma sosial, takut dihukum lingkungan, sehingga naluri kasih sayang terhadap anak tertutupi,” ujarnya.
Menurut Probowatie, tindakan kriminal ini dapat memberikan dampak panjang terutama dalam segi psikologi pelaku.
Rasa bersalah dan trauma akan menghantui mereka seumur hidup, bahkan hukuman penjara tidak bisa menyembuhkan luka psikologis tersebut.
“Gangguan psikis seperti sering terjaga malam hari karena perasaan bersalah adalah cerita dari para pasien saya,” ungkapnya.
Probowatie juga mengungkapkan bahwa mayoritas pasiennya membuang bayi untuk tetap hidup, biasanya di tempat seperti panti asuhan atau pos satpam, bukan ke tempat yang berpotensi menyebabkan kematian.
Namun, dampaknya tetap merugikan baik bagi pelaku maupun bayi yang dibuang. (CC02)