PANDUGA.ID, JAKARTA – Sebanyak 26 akademisi hukum tata negara dan hukum administrasi negara menyatakan penolakannya terhadap revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (UU MK) yang sedang digodok oleh DPR.
Mereka menyampaikan keberatan tersebut melalui surat terbuka yang ditujukan kepada Presiden Joko Widodo dan Ketua DPR Puan Maharani.
Para akademisi ini tergabung dalam Constitutional and Administrative Law Society (CALS).
Salah satu akademisi yang menandatangani surat tersebut adalah Herdiansyah Hamzah, pakar hukum tata negara dari Universitas Mulawarman.
Menurut Herdiansyah, surat terbuka ini bertujuan untuk melawan rencana DPR dan pemerintah yang dianggap berpotensi mengendalikan MK, serta mendesak agar Mahkamah Konstitusi dikembalikan ke jalur aslinya sebagai lembaga yang independen.
“Surat terbuka ini kami tujukan untuk melawan rencana jahat DPR dan pemerintah yang ingin mengendalikan MK. Kami meminta agar Mahkamah dikembalikan ke khittah-nya sebagai lembaga independen,” ujar Herdiansyah Hamzah, Sabtu (18/5/2024).
Para akademisi menilai, revisi UU MK yang telah dilakukan berulang kali dalam satu dekade terakhir lebih banyak berfokus pada pengaturan masa jabatan hakim konstitusi.
Mereka menilai, revisi yang sedang digagas DPR saat ini juga menunjukkan indikasi yang sama.
Para akademisi berpendapat bahwa perubahan-perubahan tersebut mencerminkan upaya untuk mengontrol MK, yang pada akhirnya mengancam independensi dan imparsialitas Mahkamah dalam menjalankan kewenangan konstitusionalnya.
“Semua revisi ini menunjukkan niat untuk mengontrol MK, yang dapat mengancam independensi dan imparsialitas kewenangan konstitusional MK. Seharusnya, revisi dilakukan untuk memperkuat MK,” tegas Herdiansyah.
Selain itu, mereka mengecam praktik penyusunan revisi UU MK yang dilakukan secara tertutup dan tergesa-gesa.
Menurut para akademisi, proses penyusunan ini tidak melibatkan seluruh fraksi di DPR, khususnya Fraksi PDIP dan sejumlah anggota Komisi III DPR, serta menutup partisipasi publik dalam pembahasan revisi tersebut.
“Proses penyusunan revisi ini dilakukan secara tertutup dan tergesa-gesa, tanpa melibatkan seluruh fraksi di DPR dan menutup partisipasi publik. Ini sangat kami kecam,” tambah Herdiansyah.
Para akademisi berharap agar Presiden Joko Widodo dan Ketua DPR Puan Maharani mempertimbangkan kembali revisi UU MK ini dan memastikan bahwa setiap perubahan yang dilakukan bertujuan untuk memperkuat, bukan melemahkan, Mahkamah Konstitusi.
Mereka juga menyerukan agar proses penyusunan revisi dilakukan secara transparan dan melibatkan berbagai pihak, termasuk masyarakat.
“Presiden dan Ketua DPR harus mempertimbangkan kembali revisi ini dan memastikan setiap perubahan bertujuan untuk memperkuat MK. Prosesnya harus transparan dan melibatkan berbagai pihak, termasuk masyarakat,” tutupnya.
Dengan surat terbuka ini, para akademisi berharap dapat mendorong diskusi yang lebih luas dan mendalam mengenai pentingnya menjaga independensi Mahkamah Konstitusi sebagai pilar penegakan hukum dan demokrasi di Indonesia.(CC-01)