PANDUGA.ID, SEMARANG – Ketika TNI (Tentara Nasional Indonesia) kembali menggunakan sebutan “Organisasi Papua Merdeka” (OPM) untuk menyebut kelompok yang sebelumnya disebut Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB), banyak pihak yang menyoroti keputusan ini.
Menurut Ketua Centra Initiative sekaligus peneliti senior Imparsial, Al Araf, penggunaan kembali sebutan OPM menandakan adanya kecenderungan TNI untuk mengedepankan operasi militer dalam menangani konflik di Papua.
“Pemakaian sebutan OPM dapat memberikan dampak negatif, terutama dalam terciptanya stigmatisasi terhadap masyarakat Papua secara keseluruhan,” jelasnya, Kamis (17/4/2024).
Istilah tersebut dapat memperkuat persepsi bahwa konflik di Papua semata-mata adalah urusan keamanan nasional, sementara sebenarnya masalah di Papua sangat kompleks dan melibatkan berbagai aspek, termasuk politik, sosial, dan ekonomi.
Lebih lanjut, Al Araf menyatakan bahwa penyelesaian konflik di Papua seharusnya mengedepankan proses dialog yang inklusif dan partisipatif.
Pendekatan militer semata tidak akan memberikan solusi jangka panjang yang berkelanjutan.
Dialog antara pemerintah dan berbagai elemen masyarakat Papua dianggap sebagai langkah yang lebih produktif dalam mencari solusi yang adil dan berkelanjutan.
Penggunaan kembali sebutan OPM oleh TNI juga menjadi sorotan karena dapat menghalangi upaya-upaya perdamaian dan rekonsiliasi di Papua.
“Stigmatisasi terhadap masyarakat Papua dapat memperkeruh suasana dan memperumit upaya untuk membangun kepercayaan antara pemerintah dan masyarakat Papua,” paparnya.
Al Araf menekankan perlunya pemerintah untuk mengubah paradigma dalam menangani masalah di Papua.
Daripada mengedepankan pendekatan militeristik yang cenderung memperdalam jurang antara pemerintah dan masyarakat Papua, pemerintah sebaiknya membuka ruang dialog yang lebih luas dan inklusif, serta memperjuangkan hak-hak asasi manusia dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Papua.
Dalam konteks ini, Al Araf menekankan pentingnya peran media dan masyarakat sipil dalam mengkritisi kebijakan pemerintah yang dapat memperburuk konflik di Papua.
“Melalui peningkatan kesadaran publik dan tekanan dari berbagai pihak, diharapkan pemerintah dapat lebih memperhatikan solusi dialogis dan berbasis hak asasi manusia dalam menangani masalah Papua, demi terciptanya perdamaian yang berkelanjutan di wilayah tersebut,” terangnya.(CC-01)