PANDUGA.ID, JATENG – Pegiat media sosial (medsos), Prihati Utami, menyoroti fenomena anomali masyarakat yang menolak disurvei yang diungkapkan oleh Lembaga Survei Indopol di Jawa Timur. Indopol merilis, banyak masyarakat yang menolak disurvei karena ada kekhawatiran jika suara mereka berbeda, maka bantuan sosial (bansos) yang selama ini didapat akan hilang.
Menurut Indopol, angka masyarakat yang menolak disurvei atau masih bimbang di suatu daerah bankan mencapai 85 persen. Selain karena takut kehilangan bansos, anamolai ini juga dipengaruhi oleh intervensi aparatur negara.
Prihati Utami pun mengupload potongan berita tentang survei Indopol tersebut yakni: Indopol, Sejumlah Masyarakat Menolak Disurvei karena Tak Ingin Bansos dan PKH Dicabut. Menurut dia, fenomena anomali masyarakat ini suatu hal yang sangat aneh.
Ia mengkritisi pengerahan aparatur negara untuk mengintervensi suara masyarakat, serta menyebar narasi ketakutan tak lagi mendapat bansos. Padahal, kata dia, pasangan calon (paslon) nomor urut 02 Prabowo Subianto-Gibran selalu mendengungkan menang satu putara dengan suara di atas 50 persen.
Lewat postingan tersebut, Prihati Utami ingin menunjukkan bagaimana hasil sesungguhnya yang berbeda di lapangan. Menurut dia, suara riil Prabowo-Gibran di lapangan stagnan dan bahkan cenderung menurun.
“Tapi di balik itu, ternyata ada berita soal anomali yang muncul dan patut diperhatikan dari sebuah lembaga survei. Yakni adanya penolakan saat dilakukan survei dari kepala desa dan lurah terutama untuk wilayah Jawa Timur, Laaaa kok aneh yaaa,” tulisnya di akun X atau Twitter @Prihati_utami.
Lembaga Survei Indopol bahkan membeberkan jika para surveyor yang diterjunkan mendapatkan penolakan dengan alasan warga tidak ingin persoalan survei jadi persoalan politik, yang akan berimbas pada bantuan pemerintah. Karenanya, Indopol memutuskan tidak merilis hasil survei elektabilitas pasangan capres dan cawapres pada periode Januari 2024 karena adanya sejumlah temuan masyarakat yang menolak disurvei tersebut di sejumlah daerah, khususnya di Jawa Timur (Jatim).
“Ada apakah ini sebenarnya? Semua pasangan calon yang sudah mengikrarkan diri maju, tentu punya ambisi untuk menang. Tapi, ada orang yang tetap teguh dengan cara-cara yang baik, ada pula yang bar-bar yang penting menang. Sebab kekuasaan itu sangatlah menggiurkan, sampai harus memaksakan diri melakukan segala cara,” katanya.
“Patut heran nggak sih kalau kelompok mereka itu sangat bar bar. Segala cara dilakukan, semua amunisi dikeluarkan dan gak peduli itu dari mana. Mau dari kantong pribadi ataupun fasilitas negara,” katanya.
Dirinya juga mengungkit bagaimana Presiden Jokowi harus ‘turun gunung’ sampai beberapa bulan untuk memberi dukungan kepada anaknya yakni cawapres 02 Gibran Rakabuming. Padahal sikap Jokowi tersebut sudah sering diingatkan oleh banyak pihak termasuk TNI untuk tetap netral namun akhirnya mengatakan bahwa presiden boleh kampanye, apalagi menyatakan hal tersebut saat kunjungan ke Pangkalan TNI AU. Prihati Utami merasa hal tersebut sangat tak layak untuk diungkapkan ke publik.
“Aahhh ya begitulah manusia….konsisten itu memang berat…Nah, tapi nih kalau mau ditelaah lebih jauh soal survei survei…..Mungkin nggak sih Pilpres kali ini satu putaran? Kalau saya rasa sih nggak mungkin ya satu putaran alias halu, karena kan ada tiga pasang calon yang dari awal sebenarnya sudah cukup bersaing ketat. Meskipun berdasarkan survei saat ini dianggap gap nya cukup jauh,” katanya.
Ia merasa tingginya hasil survei pasangan 02 tersebut sengaja dihembuskan agar psikologis masyarakat percaya dengan hasil itu. Selain itu juga dimunculkan adanya beberapa narasi agar menang satu putaran, seperti soal hemat uang negara.
Namun, sebenarnya secara fakta di lapangan, angka survei dari 02 ternyata tidak begitu menggembirakan. Padahal paslon 02 sudah didukung oleh kekuatan luar biasa, modal luar biasa, hingga didukung penguasa tapi hasil surveinya hanya segitu saja, tampaknya masih sangat jauh dari satu putaran.
“Bahkan, saya pernah baca klo tidak salah Dosen FISIPOL UGM sekaligus Direktur Eksekutif Indonesian Presidential Studies (IPS) Nyarwi Ahmad menyampaikan ini ibarat mobil 2.000 cc, seharusnya dengan kekuatan itu bisa melaju di batas maksimal, tapi kenyataannya ini cuma sekian. Ngeden pun syusyaaahhh….hanya seolah dahsyat di permukaan saja. Begini, semua sumber daya sudah dikerahkan. Aparat digerakkan untuk menekan rakyat, ‘membeli’ lembaga survei, memanipulasi psikologi massa, dan lainnya. Namun, rata-rata ya hasilnya hanya berani mengeluarkan di angka 40 an persen,” katanya.
Angka yang disebut tersebut sebenarnya merupakan angka maksimal yang patut diterima oleh Prabowo. Mengingat suara yang juga diperolehnya saat Pilpres 2014 dan 2019. Angkanya tak jauh beda dengan hasil survei sekarang yang di semua lembaga hanya menempatkan di angka-angka tersebut.
Meskipun saat ini Prabowo berpasangan dengan Gibran, angkanya tersebut tidak akan berubah. “Tentu memang ada keluar masuk dukungan, tapi ternyata nggak mendongkrak signifikan kan, sepertinya hanya menggantikan suara Prabowo yang hilang,” katanya.
Hingga saat ini, Indopol ini yang sampai menyatakan tidak akan merilis angka karena adanya anomali tersebut. Selain itu, dalam survey mereka juga disebutkan bahwa undecided voters cukup besar.
“Kalau tidak ada sesuatu, tidak mungkin mereka diam. Ini jelas anomali, yang pasti karena sesuatu. Nahhh ada apa gerangan???? Apakah ada ketakutan dari masyarakat dalam menentukan pilihan? Apakah ada tekanan dan intimidasi? “ katanya.
“Semoga nanti di bilik suara, masyarakat memiliki keberanian untuk menentukan masa depan bangsa tanpa rasa takut….,” katanya. (CC-01)