PANDUGA.ID, SEMARANG – Pegiat media sosial (medsos) Septian Raharjo menyindir calon presiden (capres) yang telah berkali-kali ikut dalam kontestasi pemilihan presiden (Pilpres).
Baik sebagai calon presiden (capres) maupun sebagai calon wakil presiden (cawapres).
Diketahui, capres nomor urut 02 Prabowo Subianto telah 4 kali ini mengikuti kontestasi Pilpres.
Sekali menjadi cawapres pada 2009, tiga kali menjadi capres pada 2014, 2019, dan pada Pilpres 2024 ini.
Pegiat medsos yang dikenal dengan nama Gus Raharjo ini menyitir peribahasa klasik, hanya keledai yang jatuh ke dalam lubang yang sama melalui akun Facebook miliknya: Gus Raharjo.
Menurutnya, Pilpres 2024 ini akan menjadi kali keempat Prabowo akan terjerembab dalam lubang yang sama.
“Aku menduga pepatah itu berasal dari negeri timur tengah, sebab binatang itu sempat menjadi tunggangan favorit di masa itu sampai-sampai muncul kisah bapak dan anak yang berjalan memanggul seekor keledai. Bertahun-tahun kemudian, di Indonesia, kita sama-sama menyaksikan seorang tokoh populer yang dengan sangat baik dan cermat menerapkan ilmu keledai, namanya Prabowo Subianto,” katanya.
“Jika harus sedikit adil, Prabowo bukan dua kali jatuh mengalami kekalahan yang sama, namun sudah tiga kali. Jika pilpres kali ini dia kembali gagal, artinya itu akan menjadi lubang ke-empat bagi Prabowo. Apakah artinya Prabowo tidak pernah bisa belajar dari pengalaman?,” katanya.
Tak Belajar Dari Pengalaman
Dalam pilpres kali ini, Prabowo tampak seperti belajar dari pengalaman.
Terbukti dengan membranding dirinya dengan gemoy, joget-joget dan riang gembira. Namun manipulasi yang hampir sempurna tersebut justru dirusak dirinya sendiri yang memang memiliki watak tempramental.
Prabowo terlihat mengolok-olok soal etika dengan beberapa kali mengeluarkan makian kasar, dirinya juga merendahkan kandidat lain.
Misalnya, saat Prabowo mengeluarkan makian ‘etik ndasmu’ untuk mengolok Anies Baswedan dan menyebut otaknya gak jalan untuk menyindir Ganjar Pranowo.
“Artinya, Prabowo lah yang sebetulnya menciptakan lubang bagi langkahnya sendiri dan membuatnya terperosok. Penolakan yang besar dari masyarakat tak lain karena sikapnya yang sama sekali tidak mencerminkan sebagai calon pemimpin bangsa, namun lebih mirip penguasa terminal bus. Jangan-jangan Prabowo juga gemar meludah sembarangan. Aku pun curiga Prabowo memang tidak bisa sepenuhnya menggunakan akal pikirannya karena sudah dikuasai amarah,” katanya.
Gus Raharjo merasa sikap Prabowo tersebut kerap di luar nalar.
Septian membuka fakta bahwa kemarahan memang bisa merusak kerja kognitif otak, saat orang marah terjadi perubahan fisiologis pada tubuh dan otak.
Beberapa penelitian bahkan menunjukkan kemarahan memicu aktivitas area otak seperti korteks prefrontal, yang terkait dengan pengendalian impuls dan pengambilan keputusan.
“Kita tahu Prabowo termasuk orang yang sangat tidak bisa mengendalikan amarah. Jika itu sudah terjadi selama bertahun-tahun, sudah berapa banyak fungsi otaknya yang tergerus? Taruhlah saat ini hanya 25 persen kapasitas pikiran Prabowo yang masih berfungsi, dan itupun masih harus dibagi-bagi dengan aktivitas dan konsentrasinya yang lain,” katanya.
Sindir Prabowo
Dirinya juga menyindir jika Prabowo selama ini perlu membagi-bagi isi pikirannya karena Prabowo termasuk orang yang sibuk.
Misalnya konsentrasinya memelihara kuda, mampu memeras otaknya sebanyak 5 persen.
Untuk mengurus kucingnya 3 persen, kerabatnya 2 persen, untuk mengurusi partai .
“Kita sepakati saja 5 persen, pemilu 5 persen, untuk memikirkan strategi sampai joget-joget gemoy butuh 5 persen. Dan sisanya sudah rusak, atau hanya dipenuhi kemarahan,” katanya.
Banyak hal tersebut membuat Gus Raharjo yakin marah-marah Prabowo sudah mendarah daging hingga menyebutnya temperamen.
Dituturkan, ketika orang tempramen menduduki jabatan tertinggi, kebijakannya tentu akan lebih besar dilahirkan atas ego.
“Gagalnya proyek food estate yang melenyapkan triliunan uang negara, sesungguhnya adalah contoh kecil bahwa proyek itu dijalankan dengan ego dan nafsu,” katanya.
Dari berbagai hal di atas, kata Septian, masyarakat bisa melihat betapa sulitnya Prabowo menjinakkan egonya sendiri.
Dan itu akan terus merecoki langkah politik Prabowo.
“Pada cerita bapak, anak dan seekor keledai yang pernah kita dengar dari negeri timur tengah, memang akhirnya mereka juga mendapatkan cemooh, karena membopong seekor keledai bagaimanapun adalah tindakan yang bodoh,” pungkasnya. (CC-01)