SEMARANG – Hingga saat ini, dukungan kesejahteraan nelayan hingga jaminan keamanan selama bekerja di laut masih kurang maksimal. Baik untuk nelayan yang berlayar di dalam negeri maupun yang bekerja dengan perusahaan penangkapan ikan luar negeri.
Maka, Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia) melalui SAFE Seas Project, berkomitmen memperjuangkan kesejahteraan dan perlindungan bagi awak kapal perikanan (AKP).
Pasalnya, profesi AKP rentan menjadi korban eksploitasi tenaga kerja, termasuk kerja paksa dan perdagangan orang, karena menanggung jam kerja yang panjang dalam kondisi kerja yang intens.
Maka dari itu, SAFE Seas Project menggandeng Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Jawa Tengah, untuk memperkuat pusat perlindungan AKP berbasis masyarakat, yang diberi nama Fishers Center.
Komitmen untuk memperkuat Fishers Center dituangkan dalam penanda-tanganan Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding/ MoU) oleh Kepala DKP Provinsi Jawa Tengah, Fendiawan Tiskiantoro, bersama Direktur SAFE Seas Project, Nono Sumarsono. Acara digelar di kantor DKP Provinsi Jawa Tengah, Semarang, Selasa (13/4).
Fendiawan mengatakan, profesi nelayan memiliki risiko kecelakaan yang tinggi, karena ketidakpastian cuaca di tengah laut.
“Dengan kondisi kerja yang berbahaya, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Tengah telah mendorong penerapan Perjanjian Kerja Laut (PKL) dan serta BPJS. Sosialisasi PKL dan BPJS ini dilakukan di 11 pelabuhan di wilayah Jawa Tengah, sebagai upaya perlindungan awak kapal perikanan,” ujar Fendiawan.
Sementara itu, Nono menjelaskan, Fishers Center merupakan pusat informasi dan edukasi bagi AKP, sekaligus tempat untuk melayangkan aduan terkait praktik kerja paksa dan perdagangan orang.
Menurut Nono, komitmen yang dituangkan dalam nota kesepahaman ini merupakan langkah tepat.
“Komitmen bersama ini dibutuhkan untuk memperkuat fungsi Fishers Center yang akan berlokasi di kantor Kesyahbandaran di kawasan Pelabuhan Perikanan Pantai Tegalsari (PPP Tegalsari). Kerja sama ini akan mendorong penerapaan PKL dan membuka akses untuk AKP mendapatkan informasi hak AKP dan layanan rujukan terkait pelanggaran ketenagakerjaan,” ujar Nono.
Acara seremoni penandatanganan MoU dilanjutkan dengan talk show bertema “Quo Vadis Upah Sektoral Perikanan di Provinsi Jawa Tengah” yang dihadiri narasumber dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jawa Tengah (Disnakertrans), dan Dosen Ahli Hukum Administrasi Negara Universitas Diponegoro Semarang.
Dalam diskusi tersebut, Muhammad Iqbal dari Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap menjelaskan, regulasi untuk pengaturan upah bagi AKP mengacu pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 42 tahun 2016 (Permen KP No. 42/2016) tentang Perjanjian Kerja Laut bagi Awak Kapal Perikanan.
Ketentuan upah bagi AKP diatur dalam dua skema, yaitu gaji bulanan/pokok dan gaji bagi hasil. Gaji bulanan senilai dua kali Upah Minimum Regional (UMR), termasuk gaji pokok, tunjungan berlayar, bonus produksi, uang lembur dan uang tunggu.
Namun tantangan di lapangan saat ini gaji bulan belum di implementasi dan bagi hasil belum ada transparansi. KKP mengusulkan pengaturan dalam rancangan Permen untuk lebih mendetilkan isi PKL yang harus mencatumkan komposisi bagi hasil dan memuat hak dan kewajiban para pihak dengan jelas.
“Ketentuan perundangan Upah Minimum Sektoral diatur dalam Undang-Undang (UU) No. 13 tahun 2003, tentang Ketenagakerjaan Pasal 89 ayat (1), Peraturan Pemerintah (PP) No. 78 tahun 2015 tentang Pengupahan pasal 49, Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 15 tahun 2018 tentang Upah Minimum pasal 12, UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja,” jelas Adi Nugroho, Mediator Hubungan Industrial Disnakertrans Provinsi Jawa Tengah.
Muhamad Azhar, Dosen Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang menjelaskan bahwa upah sektoral di provinsi Jawa Tengah dapat menyesuaikan terhadap peraturan perundang-undangan yang sudah ada dan bersangkutan.
“Perlu menegaskan kapan kewenangan yang diberikan oleh Peraturan Perundangan-undangan yang baru harus mulai dilaksanakan,” katanya.
SAFE Seas Project yang didukung oleh Departemen Tenaga Kerja Amerika Serikat (USDOL) berupaya untuk memperkuat perlindungan awak kapal perikanan dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan.
Demi mendorong rantai pasokan yang adil dan transparan dalam industri perikanan di antara sektor swasta dan pemerintah. SAFE Seas Project bekerjasama dengan Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia sebagai mitra pelaksana.